Pesan itu berisi pengumuman operasional bus sholawat yang akan dihentikan pada pukul 07.00 menyusul semakin padatnya suasana di sekitar Masjidil Haram.
Sampai dengan pukul 06.00 saya tidak bergerak dari posisi saat menerima pesan.
Masih di atas kasur. Masih di dalam kamar hotel maktab. Yang berada di Sektor 5.
Rasanya masih ingin melanjutkan tidur. Apalagi semalam habis nongkrong dan jagongan sampai menjelang tengah malam.
SEBUAH pesan dari layanan aplikasi WhatsApp masuk ke telepon seluler saya sekitar pukul 05.18 usai salat subuh.
Pesan itu berisi pengumuman operasional bus sholawat yang akan dihentikan pada pukul 07.00 menyusul semakin padatnya suasana di sekitar Masjidil Haram.
Pesan itu juga mengimbau kepada jemaah haji yang ingin menunaikan salat Jumat di Masjidil Haram, agar bepergian sebelum pukul 07.00.
Sampai dengan pukul 06.00 saya tidak bergerak dari posisi saat menerima pesan.
Masih di atas kasur. Masih di dalam kamar hotel maktab. Yang berada di Sektor 5.
Rasanya masih ingin melanjutkan tidur. Apalagi semalam habis nongkrong dan jagongan sampai menjelang tengah malam.
Sambil rokokan. Ditemani kopi. Sama Gus Umam Rembang. Yang adiknya Gus Baha itu.
Rasanya masih ingin ngluruske boyok. Atau selonjoran. Sekitar dua atau tiga jam ke depan.
Apalagi semalam pulang sambil nenteng jeriken plastik. Yang isinya air zamzam. Yang volumenya tiga liter. Atau setara dengan tiga kilogram.

Pelataran Masjidil Haram masih sangat lengang pada pukul 10.00, berbeda dengan kondisi di jalanan yang macet di mana-mana. (Murianews/Deka Hendratmanto)
Tapi akhirnya saya menyat. Bangun dari kasur. Trus mandi. Ganti baju. Lalu turun ke lobi. Dan sejurus kemudian nyegat taksi. Bersama seorang teman jemaah.
Saat itu jam di tangan sudah menunjuk angka 07.20. Dan di luar hotel sudah tidak ada bus sholawat sama sekali. Yang biasa bergantian mengantar jemput kami.
’’Abraj zamzam!” kataku ke sopir taksi merujuk ke titik di underpass Masjidil Haram. Di bawah clock tower mall yang terkenal itu.
Sempat kulirik jam tangan menunjukkan pukul 07.25 saat kami berangkat.
Pukul 07.40 kami pun tiba di underpass Masjidil Haram. Dan beberapa saat kemudian bergabung dengan seorang jemaah haji lainnya.
Tidak ada keramaian apalagi kepadatan manusia seperti yang saya bayangkan.
Pelataran masjid tampak lengang. Suhu di luar ruangan pagi itu tercatat 38 derajat celcius.
Bertiga kami kemudian ngopi di sebuah cafe di atas pelataran Masjidil Haram.
Pukul 09.00 kami bergegas memasuki Masjidil Haram yang tampak lengang di sepanjang jalan masuk.

Jemaah memadati ruang salat indoor di salah satu bangunan di pelataran Masjidil Haram. (Murianews/Deka Hendratmanto)
Kami masuk melalui pintu 79. Terlihat area dalam masjid tampak sudah penuh. Kami lalu diarahkan naik ke roof top masjid.
Kemudian diarahkan lagi ke pintu keluar masjid. Dan kami pun kembali berada di pelataran masjid.
Hanya saja kali ini kami ’’dibuang’’ di pintu yang semakin jauh
Melelahkan.
Kami pun memutuskan untuk cari tempat salat indoor di salah satu bangunan di pelataran Masjidil Haram.
Kebetulan tempat itu ada di lantai tiga. Kami cukup beruntung. Saat itu belum banyak jemaah yang datang.
Kami pun bisa mendapat tempat dengan view langsung Masjidil Haram. Dan bisa mengamati pergerakan manusia setiap saat.
Hingga salat Jumat dimulai pada pukul 12.40, pelataran Masjidil Haram pun tetap terlihat lengang. Tapi tempat kami bertiga salat Jumat, penuh sesak dengan jemaah pria.
